Rabu, 10 Desember 2008

Naluri



Seorang kawan datang menemui saya sambil sedikit bersungut-sungut wajahnya. "Padahal aku mau menolong seorang Ibu yang kebetulan memang terjepit diantara kerumunan ratusan orang itu. Aku juga butuh gambar bagus. Tapi naluri seorang manusia membuat aku mengurungkan niatan memotret, waktu aku melihat Ibu itu minta tolong. Tapi kawan-kawan malah marah, menganggap aku menghalangi mereka mendapatkan foto yang bagus. Kesal aku," ujar kawan saya itu.

Setelah saya coba untuk menenangkannya terlebih dulu dengan segelas es teh, lalu saya baru ngeh, ternyata kawan saya itu, bercerita tentang sikap sesama kawan fotografer yang sedang mengambil momen antrian penerima daging qurban di kompleks Pengadilan Negeri Surabaya. Memang tersiar kabar peristiwa antrian tersebut sempat menimbulkan ricuh. Dengan beberapa orang yang teinjak-injak.

"Apa saya salah kalau menolong Ibu itu. Bayangkan kalau Ibu itu adalah Ibu-ibu mereka sendiri. Tapi sudahlah. Saya sendiri juga gak sempat mendapat momen itu. Biar saja kawan-kawan marah sama saya. Saya juga gak dapat apa-apa kok," sambung kawan saya dengan nada pasrah.

Dilema memang. Mau ambil momen desak-desakan yang mengakibatkan seorang Ibu terinjak-injak, atau menolong terlebih dulu. Dilema ini memang menarik untuk dijadikan bahan diskusi atau sharing dengan kawan-kawan sesama jurnalis. Dalam kondisi tertentu, mana yang harus didahulukan? menolong? atau membuat foto?

"Ya sudah gak usah emosi. Yang penting kamu sudah melakukan sesuai dengan nalurimu. Kawan-kawan yang lain itu juga gak salah karena mereka juga ingin mendapatkan momen yang emosional itu. Tapi masak iya sih mereka marah-marah lantaran kamu menolong Ibu yang terjepit, yang menderita??," tanya saya.

Sebelum kawan saya itu menjawab, buru-buru saya melanjutkan jawaban saya sendiri: "Repot juga ya," ......(gong)

Foto: EDY suarasurabaya.net

3 komentar:

Mashita Mashita mengatakan...

kayaknya kita tetap harus mengutamakan rasa kemanusiaan kita deh.
kalo kita milih foto, sepertinya makna manusia kita jadi tergantikan sama yang namanya pekerjaan.
pekerjaan = dapat gaji = kapital.
masak hati kita jadi kapitalis? ih..ngeri
ih..gak tau juga ah

LOMBOK! mengatakan...

ubi caritas est vera, Deus ibi est!

LOMBOK! mengatakan...

WUJUDKAN UPAH LAYAK MINIMUM JURNALIS rp 2,7 juta!!!