Belum adanya standarisasi pengupahan jurnalis di Surabaya, mendorong Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya melakukan survey untuk menentukan upah layak jurnalis yang bekerja di media terbitan dan berkantor pusat di Surabaya. Penentuan gaji wartawan selama ini berdasarkan "nilai rata-rata upah jurnalis yang berlaku di pasaran", yang rata rata masih jauh dari kelayakan. Bahkan, masih ada jurnalis yang tidak digaji sama sekali oleh media tempatnya bekerja. Meskipun AJI Surabaya juga melihat ada manajemen media yang menjadikan jenjang pendidikan jurnalis sebagai patokan.
Tidak layaknya upah jurnalis ini selalu menjadi alasan untuk melanggengkan praktek terima suap "amplop", meskipun dalam kode etik jurnalistik (AJI)jelas-jelas melarang praktek tersebut. Berdasarkan survey ini, AJI yang selalu menentang praktek suap mendesak media menggaji wartawannnya dengan cara layak.
Tim survey AJI Surabaya mewawancarai puluhan jurnalis di Surabaya untuk mengetahui kebutuhan mereka lalu mencocokkan harga kebutuhan tersebut di pasaran. Cara inilah yang dijadikan dasar untuk menentukan upah layak wartawan. Karena, upah jurnalis tidak bisa dilepaskan dari kondisi harga kebutuhan pokok di pasaran.
Survey pasar yang dilakukan menyentuh harga semua produk yang banyak dikonsumsi jurnalis. Khususnya, bahan-bahan pokok yang dijual di pasar modern (swalayan), lantaran tingkat inflasinya dianggap paling stabil dibandingkan dengan pasar tradisional.
Dalam melakukan survey ini, AJI Surabaya menggunakan metode survey tertutup kepada 30 jurnalis di Surabaya sebagai responden. Jurnalis yang disurvey sebagai responden, merupakan karyawan tetap. Seperti yang diuraikan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, status karyawan tetap adalah status yang paling kuat kedudukannya. Karyawan tetap juga memiliki sejumlah hak. Nilai/harga kebutuhan para junalis diambil nilai tengah atau harga yang paling sering muncul dari responden.
Survey ini tentu saja tidak selalu berjalan mulus seperti yang diharapkan. Dalam melakukan survey, idealnya harus diketahui terlebih dahulu berapa jumlah jurnalis yang bekerja pada media tersebut. Lalu, mencari data tentang jumlah wartawan yang sudah diangkat sebagai karyawan tetap. Dari jumlah jurnalis berstatus karyawan tetap itu, didapat jumlah sampling untuk survey. Sayangnya, kenyataan tak seindah mimpi. Berdalih rahasia perusahaan, manajemen media enggan memberikan data mengenai jumlah dan status karyawannya.
Kendala lain yang juga terjadi adalah, ketakutan jurnalis sebagai responden dalam survey. Beberapa diantara mereka mengaku khawatir mendapat sanksi, jika perusahaannya tahu ia menjadi responden dalam survey ini. Salah seorang jurnalis bahkan menarik dan membatalkan hasil survey. Berbedanya sistem pengupahan tiap media juga menjadi kendala yang cukup signifikan dalam survey ini. Jika sebuah media hanya memberi gaji pokok tanpa potongan dan dianggap sebagai take home pay. Maka perusahaan lain memberikan lebih. Selain gaji pokok, uang transport, uang makan, tunjagan prestasi, dan lain-lain.
Tapi show must goon! Data-data yang didapat AJI Surabaya mendapatkan nilai rentang upah pokok yang diterima jurnalis berdasarkan jenis media. Rentang upah ini idealnya berdasarkan urutan media yang mengupah jurnalisnya paling tinggi hingga yang paling rendah.
Cetak Rp.700.000,- s/d Rp 1.650.000,-
Televisi Rp.300.000,- s/d Rp 1.200.000,-
Radio Rp.730.000,- s/d Rp 1.500.000,-
Online Rp.700.000,- s/d Rp 1.250.000,-
Dan, berdasarkan survey terhadap jurnalis sebagai responden dan survey harga barang di pasar, maka Upah Layak Jurnalis Surabaya sebesar Rp 2,7 juta (rincian terlampir). Dan patokan upah tersebut adalah bagi para wartawan yang baru bergabung di media.(ngutip AJI/gong)